Di sela belantara beton Ibu Kota terhampar beragam tanaman sayuran dan obat. Selain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, hasilnya juga untuk menopang kas komunitas dan keluarga. Inilah kreasi penghuni rumah susun di Cengkareng, Jakarta Barat, dan Marunda, Jakarta Utara.
Bagi Suliyani (35), berkebun tak selalu membutuhkan lahan luas. Dengan kreativitas, keuletan, dan kesabaran, istri petugas satpam ini menyulap lahan kosong menjadi produktif. Di atas lahan 800 meter persegi dia menanam aneka sayuran. Bahkan lele pun ikut dibudidayakan.
Semua aktivitas itu melibatkan 30 ibu rumah tangga di Rumah Susun Sederhana (Rusunawa) Flamboyan, Cengkareng, Jakarta Barat.
Melalui pola akuaponik, para perempuan itu menanam aneka macam sayuran, seperti caisim, bayam, kangkung, cabai, daun bawang, tomat, dan selada. Semuanya tumbuh subur tanpa menggunakan pupuk kimia, hanya menggunakan pupuk organik. Kotoran dan sisa pakan ikan lele ikut menyuburkan tanaman itu.
Di salah satu sudut terdapat tanaman obat, seperti jahe, kapulaga, kedondong laut, dan daun mint.
Semangat menanam dari rusunawa ini merupakan sebuah langkah kecil bentuk kepedulian terhadap lingkungan.
Warga ketagihan
Sejak lima bulan lalu, warga penghuni Rusunawa Flamboyan menggeluti pertanian perkotaan. Awalnya, mereka mendapatkan bantuan alat, pelatihan, dan bibit untuk bercocok tanam dengan akuaponik dari Suku Dinas Pertanian Jakarta Barat. Setelah berhasil menumbuhkan tunas sayuran dan memanen, warga ketagihan bercocok tanam. Mereka puas bisa mengolah hasil tanaman dari tangan sendiri.
”Tanaman di sini lebih sehat karena enggak dikasih pupuk kimia. Kami hanya gunakan pupuk kandang dan kompos,” tutur Suliyani.
Akhir Desember lalu, lahan akuaponik seluas 800 meter milik kelompok itu terlihat hijau, rimbun, dan segar. Tanaman sayuran, seperti cabai, terung, kangkung, dan bayam, tumbuh di pot-pot memanjang yang dibuat dari pipa pralon.
Dengan sistem akuakultur, endapan kotoran ikan dan pakan yang tidak dimakan disalurkan dengan pipa-pipa sebagai ”nutrisi” bagi tanaman. Lahan itu juga ditanami jamur. Jamur ditanam di sebuah rumah berdinding anyaman bambu beratap daun kelapa. Lantainya terbuat dari semen. Setiap pagi dan sore, rumah bambu itu disiram air supaya lembab. Polybag jamur disusun rapi di atas rak bambu. Setiap hari, jamur tiram itu bisa dipanen.
”Bisa sampai 6 kilogram sekali petik,” ujar Wantini, anggota kelompok tersebut.
Buah kreativitas mereka tak hanya dinikmati oleh anggota kelompok. Warga Rusunawa Flamboyan lainnya pun merasakan manfaat program itu. Ibu-ibu rumah tangga jadi punya kesibukan untuk mengisi kegiatan dan bersilaturahmi. Hasil panen tak hanya dikonsumsi warga rusunawa. Mereka juga menjual hasil berlebih kepada sesama penghuni rusun. Sayuran dijual Rp 2.000-Rp 3.000 per ikat.
Tak jarang, anggota kelompok dan warga berebut saat tiba masa panen. Mereka mengantre untuk mencicipi hasil berkebun para kelompok tani.
Merebak
Fenomena serupa tersua di Rusunawa Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Awalnya, kegiatan pertanian perkotaan itu dimulai dari Kelompok Tani Hijau Marunda. Kelompok itu mendapatkan bantuan dari Joko Widodo semasa masih menjabat Gubernur DKI.
Keberadaan kelompok itu, sebagai pelopor pertanian perkotaan di wilayah itu, tetap menebarkan virus bercocok tanam di antara penghuni rusunawa.
Suhardi (42) adalah salah satu penghuni rusunawa yang tertular virus menanam itu. Penghuni Blok C-2 Marunda itu kepincut kepada tanaman sayuran yang dikelola Kelompok Tani Hijau Marunda. Ia pun minta izin kepada pengelola rusun untuk memanfaatkan lahan di halaman Blok C-2. Karena tanah di halaman rusun kurang subur, ia mencari tanah merah gembur, masih dekat lokasi rusun.
Ia menguruk tanah yang akan ditanami dengan tanah merah gembur. Ia juga menyebarkan aneka pupuk di tanah tersebut. Butuh waktu kira-kira sebulan untuk mengolah tanah itu.
Kini, halaman rusunawa itu sudah berubah menjadi hijau. Ada tanaman pare, kangkung, labu, jagung, ketela, dan kacang panjang.
”Padahal saya tidak punya pengalaman bertani. Merawat tanaman itu harus sabar seperti merawat bayi. Saat bibit mulai tumbuh, rasanya senang sekali,” kata Suhardi.
Suhardi membutuhkan modal sekitar Rp 1 juta untuk bercocok tanam. Modal itu ia gunakan untuk membeli bibit, peralatan, tanah sebagai tanam, dan pupuk. Bahan itu ia kumpulkan sedikit demi sedikit untuk memuaskan hobinya.
Menurut Suhardi, beberapa tanaman sangat mudah dikembangkan. Caisim, misalnya, bisa dipanen sekitar setengah bulan. Hasil panen itu tidak hanya ia nikmati sendiri tetapi juga dibagi kepada para tetangga.
Kebetulan, Suhardi juga berjualan makanan sehingga hasil panennya bisa dimanfaatkan untuk berjualan.
Kreativitas Suhardi ditiru ibu-ibu lain di Rusunawa Marunda. Awalnya, segelintir orang menanam di lahan-lahan kosong di sekitar rusunawa. Mereka menanam singkong, serai, ubi, cabai, bayam, dan bunga.
Sri Indriyani (56), penghuni Cluster C 1, mendapatkan bibit sayuran dari suaminya yang bekerja sebagai petugas pertamanan. Sisa tanaman ia manfaatkan untuk mengisi halaman rusun yang kosong.
”Lumayan untuk menghemat biaya belanja rumah tangga yang mahal. Kalau ingin masak sayur, tinggal petik,” ujar Sri sambil tersenyum.
Manfaat berkebun
Berkebun di lingkungan rusunawa bisa berkontribusi terhadap penciptaan lingkungan kota yang bersih, hijau, sehat, dan nyaman. Lingkungan perkotaan semakin gersang karena alih fungsi lahan dan bisnis properti yang sangat pesat.
Salah satu inisiator komunitas Indonesia Berkebun Sigit Kusumawijaya mengatakan, kesadaran masyarakat di Indonesia untuk memanfaatkan lahan kosong menjadi lahan produktif memang belum pesat.
Di Singapura, misalnya, sudah ada sinergi antara warga, pemerintah, dan pengembang untuk kegiatan pertanian perkotaan. Sinergi itu membuat kegiatan pertanian perkotaan menjadi semakin masif dan berkelanjutan.
Beberapa negara yang sudah mengembangkan pertanian perkotaan berbasis komunitas antara lain Inggris, Banglades, Vietnam, Nepal, Malawi, Guatemala, Ghana, Ekuador, Panama, Madagaskar, Bulgaria, Nigeria, Albania, Pakistan, dan Indonesia. Adapun Indonesia Berkebun adalah komunitas yang gencar menyosialisasikan pemanfaatan lahan kosong menjadi lingkungan hijau sejak tahun 2010. Salah satu inisiatornya adalah Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.
Menurut Sigit yang berprofesi sebagai arsitek, pertanian perkotaan sangat bermanfaat. Salah satunya adalah pemanfaatan lahan kosong supaya tidak menjadi ruang untuk kegiatan negatif.
”Area tak terpakai bisa disulap jadi lahan produktif. Dari sisi sosial, ibu-ibu rumah tangga pun bisa berkegiatan lebih positif,” kata Sigit.
Bagi masyarakat perkotaan, berkebun mendekatkan mereka pada sumber makanan. Sayur mayur yang ditanam sendiri lebih jelas perawatannya dan harganya pun lebih murah. Di pasaran, harga sayuran organik dibanderol 2-3 kali lipat dari sayur pada umumnya.
Begitulah, fenomena berkebun di area rumah susun perlahan menggeliat di Ibu Kota. Sayuran yang dituai bisa jadi belum memenuhi kebutuhan seluruh penghuni rumah susun. Namun, setidaknya mereka telah mencoba mengatasi kegersangan kota.
Sumber artikel dan foto: http://megapolitan.kompas.com/read/2015/01/18/08000031/Kebunku.di.Rumah.Susun.